Film Lyora, Penantian Buah Hati
Pejuang garis dua yang kaya raya pasti relate dengan cerita film ini. Film Lyora, diangkat dari kisah nyata seorang perempuan mantan jurnalis senior Indonesia, kemudian terjun ke dunia politik. Seangkatanlah sama Najwa Shihab dan Aleyda Yahya. Bahkan trio ini sampe sekarang keknya masih bersahabat. Lalu, tahun 2005, sempat jadi tahanan kelompok bersenjata ketika sedang bertugas di Irak. Dan sekarang menjadi Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia. Eee eee siapa dia~~~
Meutya Hafid
Senangnya melihat seorang perempuan yang tidak hanya cantik tapi juga cerdas, berpendidikan tinggi, mandiri, berdaya, berprestasi, punya keluarga berkecukupan dan support. Semua deh diborong sama Ibu Mutia Hafid. Alhamdulillah, sebagai sesama perempuan ikut berbangga dan terinspirasi.
Karirnya seolah ngga ada habisnya. Menjadi jurnalis pada salah satu stasiun TV berita nomor wahid aja sudah menjadi kebanggaan tersendiri, loh. Kemudian memenangkan banyak penghargaan sebagai jurnalis terbaik maupun sosok menginspirasi yang memang sepatutnya dia raih.
Pernah mencalonkan diri menjadi wali kota Binjai, Sumatera Utara tahun 2010, namun kekalahannya justru membuka peluang lebih besar dengan menjadi anggota DPR menggantikan rekan satu partainya yang meninggal dunia. Kini, pada kabinet merah putih, beliau menduduki jabatan sebagai Menteri Komunikasi dan Digital.
Noer Fajrieansyah adalah suami dari Mutia Hafid. Menikah pada Februari 2014, kemudian pada pada tanggal 9 September 2022 dikaruniai seorang anak perempuan bernama Lyora Shaqueena Ansyah. Yes, penantian buah hati selama 8 tahun ini yang menjadi perjalanan yang diceritakan dalam film Lyora.
Related Post: Film Pawn, Ikatan Batin Rentenir dan Anak Gadaian

Lyora, Penantian Buah Hati
Cast: Marsha Timothy, Darius Sinathrya, Widyawati, Ariyo Wahab, Olga Lydia, Hannah Al Rashid dan Ivanka Suwandi
Sutradara Pritagita Arianegara
Tgl Tayang: 7 Agustus 2025
Durasi: 1jam 36menit
Rumah Produksi: Paragon Picture, Ideosurce Entertainment, Jarasta Enterprise
Sinopsis Film Lyora
Sesempurnanya fisik dan karir seorang perempuan, tetaplah salah satu kodratnya adalah melahirkan dan 99% perempuan memimpikan itu. Emang tujuan menikah adalah mempunyai keturunan, to?
Hanya saja, ada yang menikah langsung hamil, ada juga yang harus menunggu lama sampai belasan tahun bahkan ada yang sampai akhir hayatnya tidak diberi kesempatan untuk merasakan hamil dan melahirkan.
Saya jadi keinget salah satu teman lama. Ditahun ke-12 pernikahan, istrinya baru hamil dan qadarullah usia kehamilan 9 bulan, suaminya (calon ayah) malah meninggal dunia. Sedih, sediiiiiiih bangeeeet kalau inget itu. Bayangin anaknya sama sekali ngga pernah ketemu ayahnya. Sekarang usia anaknya sudah 8 tahunan kalau ngga salah.
Lyora adalah seorang anak yang dinanti-nanti dan diusahakan banget sama Bu Mutia dan suaminya. Selama 8 tahun menikah, mereka sudah mengupayakan segala cara. Dari mulai ke tukang pijet tradisional sampe medis yang modern. Selalu berhasil hamil tapi semuanya mengalami keguguran.
Bukan hanya janin yang gugur, tapi mental juga dibikin gugur. Kecewa, terpukul dan lelah sudah pasti. Seorang Meutya Hafid yang pernah bertahan dalam insiden penyanderaan mengerikan, juga sudah berpengalaman meliput berita dengan berbagai kondisi di lapangan. Kalau kita bayangkan, pastilah seorang perempuan dengan sosok yang kuat, mandiri dan bijaksana, ya.
Tapi, perempuan tetaplah perempuan. Sisi lemahnya akan tetap ada apalagi kalau dihadapkan dengan kodrat. Semodern apapun zaman dan pemikiran manusia, siapapun tetap tidak bisa menyangkal ketiga kodrat perempuan yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui.
Bu Meutya punya suami green flag yang bikin penonton terutama kaum hawa “ngiri” ketika nonton filmnya. Suami yang ngga menuntut harus punya anak secepatnya, suami yang lembut tutur kata dan sikapnya, suami yang “membebaskan” istrinya untuk tetap berkarir dan suami yang cintanya melebihi cintanya pada diri sendiri dan sabarnya seluas samudera.
Pun begitu dengan keluarganya. Bu Mutia punya ibu mertua yang baik hati tanpa banyak tuntutan dan ibu kandung yang banyak menemani dan menyabarkan anaknya penuh kasih sayang. Ditambah materi yang berlebih sebenarnya sudah bisa bikin ia cukup bahagia.
Keguguran demi keguguran yang dialami Bu Meutya akhirnya meruntuhkan dinding kesabaran. Dia berubah drastis jadi perempuan yang cuek, pemurung, pendiam dan membatasi diri dari dunia luar. Suami yang nyaris sempurna itu selalu salah di depan mata, bahkan ia enggan berdialog dengan Allah. Entah yang bagian ini memang kisah nyata atau hanya improvisasi saja.
Titik balik dalam menyadari kekeliruannya adalah saat ia pulang kampung bersama ibunya, main ke air terjun mengenang indahnya masa kecil. Dia kembali teringat kalau saat itu ibunya juga sedang berjuang melawan kanker tapi masih tegar, mereka menangis dan berpelukan saling menguatkan.
Meutya yang dulu telah kembali. Kembali ceria, kembali hidup dan bersemangat untuk melakukan program hamil sampe akhirnya berhasil melahirkan seorang anak perempuan bernama Lyora.
Related Post: Belajar Menjadi Orang Tua Bijaksana dari Film Ngeri-Ngeri Sedap
Nobar dan Kesan Tentang Film Lyora

Minggu lalu, saya bersama komunitas Blogger Medan dan beberapa komunitas lainnya nonton bareng film ini. Awal diinfoin digrup WA, saya malah salah baca. Lyora kebaca Lyodra dan awalnya saya pikir ini konser kecil. Semangat bangeet ikutan lalu ngelist dan yasudah ninggalin grup untuk kembali bekerja.
Setelah ngecek grup dan skrol obrolan, baru menyadari kalau beberapa jam lalu saya salah baca, haha. Buru-buru googling untuk cari info tentang fim ini. Dan hmm, sebenarnya, sih, saya kurang suka dengan tema dan jalan ceritanya.
Untungnya aktor utamanya itu ngga kaleng-kaleng. Marsha Timothy dan Darius Sinathrya. Biasanya Marsha selalu akting bareng suami kan, tapi kali ini bareng suami orang, hehe. Tapi sama-sama aktor jempolan. Inilah salah satu yang bikin saya lanjut ikutan nobarnya.
Pikir saya, kalo udah Marsha yang turun gunung, filmnya pasti oke.
Dan bener… berkat akting mereka berdua, saya jadi ikut terhanyut dalam kesedihan. Nontonnya malem dan ngga ngantuk aja udah sebuah pembuktian kalo film yang sedang saya tonton itu lumayan menarik. Bahkan saya sampe hampir ikut nangis lihat Marsha nangis di layar lebar malam itu.
Tapi nih, sejujurnya, saya malah lebih tertarik kalau kisah tentang Bu Meutya yang jadi tawanan itu difilmkan daripada kisah perjuangannya menanti buah hati. Dan hal ini ditanggapi dengan anggukan cepat ketika saya utarakan sama temen-temen waktu itu.
Sebab, MENURUT SAYA akan jauh lebih dramatis kalau film Lyora diangkat dari kisah mereka yang juga menantikan buah hati tapi dengan POV yang berbeda. Misal dari keluarga yang kurang mampu, atau dari pasutri yang punya mertua nyinyir misalnya, atau peran kepala daerahnya bagaimana untuk membantu program penantian buah hati, atau POV lingkungan yang masih kolot, memandang rendah perempuan yang ngga bisa / susah hamil dan POV lainnya yang lebih relate dengan kondisi masyarakat kebanyakan.
Mohon maaf, saya bukan mau nirempati pada sesama perempuan. Toh menonton ini saya sempet menitikkan air mata juga sama seperti sebagian penonton lainnnya.
Tapi ngga semua perempuan / pasutri pejuang garis dua punya privilege seperti ibu Meutya. Punya uang banyak yang bisa kapan aja visit dokter mahal dan ke luar negeri untuk program bayi tabung. Punya suami yang green flag, punya orang tua / mertua dan keluarga yang ngga nyinyir kapan harus punya anak, atau bahkan nyuruh anaknya menceraikan istri yang ngga bisa hamil atau nyuruh anak laki-lakinya kawin lagi Dia juga punya temen-temen yang support sampe ikutan sibuk dan khawatir layaknya keluarga sendiri serta punya ART jadi ngga harus pusing mikirin kerjaan rumah yang ngga ada habisnya. Pokoknya dia bisa istirahat dengan tenang.
Dari salah satu artikel milik Blogger Surabaya, bahwa pejuang bayi tabung juga harus punya suport sistem yang solid. Dan semua itu dimiliki Bu Meutya.
Sesempurna itu hidupnya, beliau pernah merasakan kurang percaya diri, rasa putus asa dan kecewa yang mendalam. Apalah lagi kalau kejadian ini menimpa perempuan-perempuan yang ngga punya segala keistimewaan itu?
Salah satu temen saya juga pejuang garis dua. Ketika saya ceritain isi filmnya, tanggapannya “Dia sih enak, kak, duitnya banyak dan mertuanya ngga nyinyir”.
Begitulah…
Jadi lagi-lagi menurut saya, kalau yang nonton pejuang garis dua tapi ngga punya privilage, kemungkinan ada dua perasaan yang timbul. Termotivasikah atau semakin sedih karena dia ngga semampu itu untuk mengusahakan buah hati.
Ya, semua punya kisah hidupnya masing-masing yang mungkin menurut orang lain ngga / kurang menarik. Sebaiknya memang tidak mengukur kemampuan berjalan kalau kita belum pernah pakai sepatunya.
BTW, meski usia Lyora sudah 3 tahun, saya ucapkan selamat untuk Bu Meutya dan suami atas kehadiran putri yang telah dinanti-nanti. Semoga Ananda Lyora bisa menjadi motivasi dan penyemangat khususnya untuk Bu Meutya dalam menjalankan tugasnya dan bekerja penuh cinta serta menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Sekaligus sebagai alarm atau pengingat dalam segala tindak tanduk serta kebijakan Bu Meutya sebagai menteri untuk selalu amanat dan mengutamakan kepentingan rakyat 🙂

Saya tak ingin nonton bukan nirempati pada perjuangan Bu Mutya memperoleh momongan tapiii langsung ilfeel membaca statementnya dalam beberapa hari ini selaku Menkominfo yang menyangkal pembatasan TikTok live karena ada intervensi pemerintah.
Gemes banget, yang beginian cepat diurusi, giliran judol dan pinjol berlarut-larut.
Iyaa mbak, kek kacang lupa kulitnya dia yaa, padahal dulu pernah jadi jurnalis harusnya paham 🙁
Ini kisah tentang bu menteri (mantan jurnalis) itu ya? Wow gak nyangka ternyata ada kisah lainnya yaitu perjuangan memperoleh buah hati. Aktor dan aktrisnya papan atas sih, semestinya bagus filmnya 🙂
Selalu bagus kalo Marsha yang main, dan alasan mau ikut nobar jujurly kan karna aktornya dia hihii
Aaaa suci, ini filmnya relate banget buat banyak pasangan yaa .. Jujur aja saya juga termasuk di dalamnya, menanti selama 4 tahun saja itu tuh udah dah dig dug!
Kepikiran dulu waktu single, ngeliat yang udah pada belum dikasih momongan dan nangis bombay, apa kata saya? : Alaaah ga punya anak juga gapapa, e e eee saya kemakan omongan sendiri! Saya nikah telat dan punya anak telat, nyaris hopelesss… hiks hiks
Dari cara Suci nulis aja udah kerasa banget vibes haru dan perjuangannya. Judulnya simpel “Lyora”, tapi ternyata dalem banget maknanya.
Kayak reminder juga buat kita yang belum ngerasain, biar lebih peka dan nggak asal komen ke orang soal anak. Kadang kita nggak tahu luka di balik senyum orang lain, huhuhu
Thanks ya dah angkat film ini, jadi nambah list tontonan penuh makna buat weekend healing tapi “nangis aesthetic”
Hahaaa nangis aja harus estetik yaa, Bu…
Waah ibu pejuang garis biru juga ya, tp alhamdulillah sekarang anaknya udah lajang / gadis ya, Bu
Saya sependapat banget dengan Suci. Keknya lebih seru jika sineas tanah air mengangkat cerita Meutia waktu jadi tawanan. Pasti banyak yang bisa digali. Karena, kalau mau jujur, gak banyak kan WNI yang pernah mengalami peristiwa itu. Apalagi jika kita ingin menyoroti peran dan kekuatan mentalitas perempuan Indonesia (khususnya jurnalis) saat mengalami beragam penekanan yang dialami saat menjadi tawanan, di negara yang terkenal frontal.
Iyaa betul, Bu. Jadi pertanyaan juga kenapa ngga peristiwa itu yang diangkat ya
Hehe aku awalnya juga baca Lyodra ternyata Lyora,
Bener sih gak semua orang abis nikah bisa langsung punya anak, ada yang menanti lama juga. Tapi ada pula yang nikah gk masalah juga gak punya anak, apalagi di kondisi kek sekarang ini.
Ternyata ini kisah nyata bu wartawan yang sekarang jadi bu menteri yaa.
hehe mungkin film ini ngangkat bu menteri ada tujuannya juga kali ya mbak, misal ngangkat citranya, tergantung siapa yang produserin filmnya 😀
Di luar sana pun sebenarnya banyak sih yang nunggu dapat anak. Hehe soal mertua nyinyir real ada teman suami yang pas dia akhirnya pindah rumah misah dari rumah mertua langsung punya anak, kyknya emang stress aja sebelumnya 😀
Nah itu dia, mbak kenapa ngga diangkat jadi cerita pas dia jadi sandra kan… padahal itu jauh lebih dramatis
Kok sama..pas sekilas baca judulnya aku kira tadi Lyodra hahaha..
Hm, aku setuju, film yang mengangkat cerita saat Beliau jadi tawanan kayaknya lebih seru
Di luar itu semua, semoga film ini bisa menyemangati pasutri di luar sana yang hingga kini masih jadi pejuang garis dua. Doa dan usaha tetap jalan meski tetap semua ada di tangan Allah SWT yang jadi penentunya. Seperti kakak kandungku, dengan suami pertama tidak punya anak, bertahun-tahun dinyinyirin sama mertua dan keluarga besar suaminya…padahal sudah usaha macam-macam (semampunya karena hidupnya juga pas saja). Sampai suaminya meninggal. Tiga tahun kemudian kakakku nikah lagi sama duda, ..sampai kini mereka tidak punya keturunan juga. Kakakku sudah 53 tahun dan sudah meno. Belasan tahun berusaha garis dua…tapi balik lagi kalau Allah tidak berkehendak, manusia bisa apa…:)
Iya mbak, suka heran sesama perempuan knp harus nyinyir yaa
harusnya paham anak itu kan sepemberian Allah, knp nyinyirnya sama manusianya 🙁
kebetulan saya mantengin obrolan Meutya (kalo gak salah di hari Kartini) di acaranya Najwa, bareng Luna Maya dan Rosa. Meutya berkisah tentang perjuangannya mendapatkan buah hati
Inspiratif banget sesudah kisahnya diangkat ke layar lebar, apalagi diperankan Darius dan Marsha
Waaah sampe dibahas juga diacara najwa ya, Ambu
Lyora film yang memberi ruang empati bagi pasangan yang tengah berjuang menjalani proses memiliki keturunan, melalui perjuangan Meutya dan Fajrie, sesuai dengan realitas pejuang garis 2. Film ini tuh kerennya tidak hanya menyorot soal medis, tetapi juga tekanan sosial, stigma, dan beban moral yang kerap menyakitkan ya.
Perjuangan ibu Muetya dan suaminya ini mengingatkanku pada perjuangan temanku. Mereka tuh melakukan apapun demi bisa hamil. Segala petunjuk dari teman dicoba. Entah gimana kabarnya sekarang. Aku sudah lama nggak bersua. Semoga, mereka berhasil mendapat kepercayaan Tuhan untuk dititipkan buah hati
Keren banget reviewnya. Aku jadi bisa ngerasain vibes nonton film Lyora meski belum sempat ke bioskop. Ceritanya nyentuh banget ya, apalagi karena diangkat dari kisah nyata Ibu Mutya Hafiz. Kadang kita lihat beliau sebagai sosok kuat di panggung publik, tapi ternyata punya perjalanan panjang dan penuh air mata di baliknya. Semoga next bisa tayang di Netflix jadi bisa nonton biar bisa ngalamin langsung emosinya
Mungkin ini dari sisi komersil-nya yaa.. Jadi yang kebaca sisi-sisi pejuang garis dua ini..
Tapi mashaAllaa..
Perempuan dan sisi yang mungkin bisa dikatakan “titik lemah”nya.. pasti kaitannya dengan kehadiran buah hati.
Salut sama pemerannya..
Eh, semua tim sineasnya yaa.. karena bisa meng”hidup”kan sosok yang masih ada ke tengah-tengah penonton.
Tambah pula situasi saat dan dengan pernyataannya ya, teh, smoga masih ada yang berminat nonton filmnya
Reviewnya lengkap banget, penasaran jadi pengen nonton juga. Semangat untuk semua teman pejuang garis dua. Terus berdoa dan yakin, ya!
Semangaat…