Siapa yang selalu suka dengan suasana stasiun??? Apalagi kalo sore, atau menjelang pagi vibes nya lebih berasa ya…
Tapi kali ini saya ke stasiun sudah menjelang siang. Dari bandara menumpang Damri menuju Gambir untuk bertemu seorang kerabat. Saya dari Medan pake pesawat, dia dari Jawa Barat pake kereta. Sama-sama perjalanan subuh supaya selang waktu nyampenya ngga terlalu jauh dan sepakat untuk ketemu di Stasiun Gambir. Siapa sangka dari Bandara yang saya perkirakan memakan waktu kurleb 1 jam, dengan niat akan tidur sepanjang perjalanan sebab sudah bangun dari jam 2 pagi dan ngga pernah bisa tidur di pesawat bikin badan lemas, dan mata sepet. Eh, waktu beberapa menit selama di bus dipake untuk motoin gedung-gedung tinggi Jakarta tau-tau udah nyampe Gambir aja.
Pukul 9 pagi lebih sedikit, akhirnya untuk kesekian kalinya kaki saya berpijak lagi di tanah kota Jakarta. Beberapa jam sebelum tengah hari akan saya gunakan untuk mengenang masa-masa saya tinggal di Bogor dan harus bolak balik Jakarta karna berbagai urusan. Dan tentu saja Gambir dan Monas punya kenangan tersendiri setahun sebelum itu. Itu sebab menunggu waktu Chek-in, saya berencana napak tilas di sekitaran Gambir dan Monas. Tapi kali ini bukan diwaktu senja. Ditemani seorang kerabat…
Related pos: Tauge Goreng, Kuliner Bogor yang Menyihir Lidah
Setibanya di Stasiun Gambir, saya sempatkan sarapan yang terlambat itu pada sebuah gerai makanan disana. Bakmi jadi pilihan untuk mengisi perut yang mulai mengeluarkan suara-suara. Tiga kali kunjungan ke Gambir, saya masih ingat gerai makanan apa saja yang saya singgahin. Kunjungan pertama di es teler 77, kunjungan kedua di CFC dan kali ini nyoba mi pangsit di Bakmi Naga. Sebenernya semua itu ngga ada yang direncanakan, melainkan karena pada saat itu dimana gerai makanan paling terdekat di tempat berdiri dan ngga terlalu ramai disitulah kaki tertuju. Setelah menyelesaikan makan pagi, kami berencana mengunjungi Monas. Ambil pelajaran dari perjalanan yang lalu-lalu, ngga mau capek-capek gotong ransel berat saat jalan-jalan, maka kami menitipkan ransel pada sebuah gerai khusus penitipan barang yang ada di dalam area stasiun. Berhadapan dengan Bakmi Naga. Meski harus menunggu beberapa saat karena petugas yang berjaga lagi mandi. Begitu pengumuman dalam secarik kertas yang tertempel pada pintu kacanya.
Berjalan menyusuri koridor di salah satu sisi stasiun menuju pintu keluar, saya kembali diingatkan momen 5 tahun lalu saat menunggu jadwal kereta Argo Lawu dan 4 tahun lalu saat Gambir menjadi tempat saya transit. Situasi bangunan ngga banyak berubah dengan dominasi warna hijau terang pada sebagian besar pilar-pilarnya. Posisi kursi tunggu juga belum berubah. Hanya manusianya saja yang dituntut jaga jarak dan pakai masker. Kemudian ada tambahan loket untuk tes antigen dan vaksin di bagian luar.
Gambir Dan Monas
Beberapa tipe pendatang yang memanfaatkan waktu luang di stasiun, ntah itu nunggu jadwal kereta, atau nunggu jemputan dan kedatangan, ataupun nunggu waktu chek-in hotel dengan berjalan santai mengunjungi monas atau hanya sekedar duduk di ruang tunggu stasiun atau duduk di taman bagian luar stasiun. Kalo saya selalu menyempatkan untuk mengunjungi atau merasakan apapun selagi waktu dan kesempatan itu ada.
Monas, selain sebagai ikon kota Jakarta, bagi saya tempat untuk mengulang dalam ingatan segala kenangan yang pernah terjadi disana. Pernah satu keluarga berkunjung ke Bogor kemudian satu sore pingin main ke Monas sampai malam naik KRL. Beli kerak telor yang ngga nanya harga dulu tau-tau 4 bungkus harus bayar 100ribu kemudian sampe rumah (Bogor) keburu tengah malam, tidur dan besoknya kerak telornya udah keras ngga bisa dimakan. Waktu itu masih ada Alm Bapak (Alfatihaaah). Lain kesempatan pernah ke Jakarta terus malamnya jalan-jalan ke Monas, duduk di pelataran menyaksikan orang-orang dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang main skateboard, sepatu roda, makan malam keluarga dengan bekal di atas gelaran tikar juga ada pasangan muda-mudi yang bercanda mesra. Yang paling berkesan adalah satu waktu saat menunggu jadwal kereta Argo Lawu malam yang akan mengantarkan kami ke Jogja. Disaat senja itulah kami duduk pada sebuah kursi kayu yang tersedia di trotoar depan pelataran Monas, menonton rangkaian kereta yang hilir mudik pada rel layang yang berada tepat di atas tempat kami duduk. Tentu saja semua itu terjadi jauh sebelum pandemi menyerang negeri.
related pos: Senja Antara Gambir dan Monas , Bersantai Malam di Tugu Jogjakarta
Kali ini, dimasa pandemi untuk pertama sekali saya kembali menginjakkan kaki di Monas. Bukan kebetulan karena mendatangi Monas memang akan selalu ada dalam agenda, meski hanya sebentar saja.
Pagi itu, Jakarta sedikit diselimuti mendung. Meski begitu, angin berhembus sedikit sekali dan menyisakan gerah. Berjalan menyusuri pelataran stasiun, saya mendapati sebuah taman kecil yang nampak baru. Dudukan dari beton tersusun rapi dinaungi sebuah pohon yang bahkan masih belum tumbuh rindang. Beberapa ibu-ibu sedang duduk disana. Sebelahnya sebuah tulisan GAMBIR dengan latar Tugu Monas di belakangnya ngga saya sia-siakan. Fotolah, apalagi?
Menuju Monas, meski hanya dipisahkan pagar pembatas yang semi terbuka, tapi menuju gerbang utama tetap masih harus berjalan beberapa puluh meter lagi sampai melewati gerbang keluar stasiun. Di jalan protokol, masih banyak orang dengan aktivitas lari paginya, karena memang saat itu masih pukul 10 kurang. Namun sayang, sampai di Monas, tempat wisata ini masih ditutup untuk umum. Kursi kenangan 5 tahun lalu masih setia di posisi yang sama saat saya kesana. Malah ia dalam keadaan kosong seolah sengaja menyediakan tempat karna tau ada yang rindu dan dia pun setia menunggu (halaaaaaah). Kembali duduk disana dan menyaksikan rangkaian kereta hilir mudik seperti merasakan dejavu. Ingatan melayang pada suasana 5 tahun lalu, pagi yang mendung itu pun serasa sore yang syahdu.
Setelah itu menuju pelataran Monas (bagian luar) sebab gerbang ditutup untuk umum. Hanya bisa memandang tugu dari luar area (depan gerbang). Padahal pingin sekali naik ke puncaknya (belum pernah soalnya). Disini, beberapa orang asik berfoto. Ngga sedikit kendaraan baik motor dan mobil yang sengaja berhenti untuk sekedar berfoto. Beberapa penjual baju “monas” juga tampak hilir mudik. Kasihan juga mereka harus kehilangan lapak selama Monas, tempat mereka selama ini berjualan harus ditutup selama pandemi. Tapi dengan begitu mereka jadi kreatif, berjualan di atas motor dengan membawa serta baju-baju dagangan yang sudah tergantung di atas bak terbuat dari kayu tempat meletakkan dan menggantungkan dagangan. Pakai motor malah bisa kesana kemari ngejar pembeli. Sementara pedagang lain menjajakan minuman dengan membawa termos air panas dan dingin dengan rangkaian kopi dan minuman kemasan bergelantungan di keranjangnya.
Cukup lama saya bernostalgia disana. Hingga 30 menit menuju pukul 12 siang, saya beranjak kembali ke stasiun mengambil barang titipan untuk kemudian kembali ke luar karena mobil jemputan sudah menunggu di luar (Abang grab maksudnya) yang siap mengantarkan saya ke hotel Verse daerah Thamrin tempat saya tidur 2 malam ke depan. Ditunggu reviewnya, yaa… :). Oiya, abang grabnya orang Medan. Pantesan ramah. Ketemu kawan sekampung alhasil sepanjang perjalanan banyak ngobrolnya. selama 3 hari di Jawa, 5 kali saya pake kendaraan online, cuma 2 driver yang ramah, salah satunya bang Lubis, orang Medan itu. Iya, orang Medan itu ramah tamah, loh 🙂
Bye, Monas… Kamu kian hari kian gagah saja. Ngga berlebihan rasanya kalau saya menaruh hati dan sedikit kenangan di sini. Sebab kamu memang begitu memesona. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya. Saya menaruh keyakinan akan mendatangimu disuatu senja yang lain. Jangan bosan jadi tempat persinggahan sejuta rasa ini, ya…
Aaa lihat situasi spt foto2 mbak Suci jadi kangen kerja..
Sayang bgt itu kerak telor.. akhirnya g kemakan ya mbak? 100.000nya melayang deh. Hehehhehe
Iya mbk, padahal kalo tau mahal beli satu bungkus doang 😀
Jadi kangen naik kereta ke Jakarta. Kangen gambir dengan nuansa hijaunya.
Saya terakhir ke gambir itu 2010. Pagi begitu kereta sampai, langsung cari kamar mandi. Mandi dan ganti pakaian, baru meluncur ke tempat tugas. Sore selesai kegiatan, langsung balik lagi ke stasiun. Numpang mandi lagi sebelum naik kereta malam.
Wah udah lama berarti ya, mbk. Sempet mandi segala malah ya, hehee
Kangen Jekardah dong, baru sekali saya ke sana, pengen diulangi lagi, tapi nunggu setelah covid beneran menyerah di seluruh dunia.
Agak parno juga dengan pemberitaan akhir-akhir ini.
Dulu juga pertama kali ke Jakarta, tujuan pertama di Monas, kalau Gambir cuman lewat doang 🙂
Monas ttp jadi tujuan utama pendatang sih, ya… Kurang lengkap rasanya klo belum kesana
Kereta transportasi publik yang populer, banyak penggemarnya termasuk saya hehehe. Banyak bangunan stasion begitu gagah, dan jadi saksi perkembangan masyarakat dulu sampai sekarang
Iyu, monas tuh selain anggun juga gagah. Lambang Ibukota yang dibanggakan
Monas sebuah tinggalan kebudayaan nasional yang lekat dengan sejarah bangsa Indonesia. Dulu sering mampir ke monas dan ibadah di masjid istiqlal Jakarta. Wah, bertemu denngan teman pastinya seru ya kak, nostalgia bersama dan saling berbagi insight.
Iya yang lalu ngga jadi mampir ke Istiqlal padahal sempet masuk dalam agenda…
Ada momen tersendiri tentunya saat berkunjung ke Gambir dan Monas ya kak. Begini membuat saya rindu mau segera ke Monas lagi,terakhir tahun 2018 kesana. Ke Jakarta sih tahun ini tapi cuma untuk transit dan karantina.
Kalo karantina malah ngga bisa kemana-mana ya, cuma mandangin Jakarta dari jendela kamar udah harus puas, hehee
Jujur, saya belum pernah naik kereta huhu, pengen banget coba naik kereta, semoga suatu saat bisa terwujud dan juga mendatangi stasiun Gambir ini ❤️
Vibes-nya dari sinipun terasa berbeda, saat mendatangi tempat yang dulu pernah kita singgahi.
Seiring berjalan waktu semua pasti berbeda, tapi kenangannya yang ngga brubah ya mbk 🙂
Salam kenal mba, wah aku lihat ini jadi ikut mengenang deh, pernah ke stasiun gambir tapi ga sempat ke monas huhu pengen banget ke monas
Wah sayang banget mbk padahal deket banget… Lain kesempatan harus kesana mbk, hehee
Nostalgia yang indah itu MONAS dan GAMBIR
tambahin aja mbak ke Perpusnas – lanjut ke Balaikota
Perpusnas cuma lewat mbk hehee
Paling kota tua yang sempet singgah sebentar, main di kali besar
Antara Gambir dan Monas aku punya kenangan yang indah. Zaman dulu aku sering ke Monas waktu PRJ masih disana (belum di Kemayoran). Wah seru,karena kesannya lebih pasar malam ya. Banyak tukang jualan mainan,kerak telor, jarang stand.Barangnya juga tidak begitu mahal.Nah aku turunnya di st.Gambir,tinggal jalan kaki deh.Sekarang Jakarta sudah berubah lebih bagus dan tertata
Seru y mbk sblm covid menyerang… meriah tanpa ada rasa takut. paling jaga2 aja klo ada copet ya hehe