jalan dan wisata

Berkunjung ke Kampung Nelayan Belawan

Berkunjung ke Kampung Nelayan Belawan – Pertama kali kulineran malam pada sebuah resto terapung di dekat Pelabuhan Belawan, saya sengaja memilih tempat duduk dengan view lautan. Malam hari memang ngga ada yang bisa dipandang. Tapi perhatian saya tertuju pada jejeran lampu di seberang tempat saya bersantap.

Tampak seperti sebuah pemukiman atau pulau. Penasaran itu ngga sampai bikin saya bertanya lebih banyak setidaknya pada pelayan resto sebab terlalu fokus melahap sajian dan mendengarkan live music. Hanya saya tebak-tebak saja sampai akhirnya ada kesempatan kedua merasakan hidangan Kafe bernama Marine Seafood yang konon cukup terkenal di Belawan itu.

Related Post: Restoran Belawan Seafood Bang Tamrin

Duduk di tempat yang sama, bikin pandangan saya kembali tertuju pada deretan lampu memanjang itu. Kali ini penasaran saya ngga bisa dibendung. Selesai makan, saya bertanya pada petugas kafe, apa gerangan yang ada seberang sana.

“Kampung Nelayan, kak. Kalau mau kesana naik perahu ongkosnya 5ribu aja”

Kalau ongkosnya cuma 5 ribu berarti jaraknya ngga terlalu jauh.

Tanpa pikir panjang, kami bergegas menuju dermaga sederhana tempat perahu penumpang bertambat. Yang awalnya saya takut, demi menjawab rasa penasaran, akhirnya nekat melalui jembatan kayu sempit sepanjang kurang lebih 40 Meter. Jembatan sempit yang hanya bisa bersisian dua orang saja, itupun kadang diinvansi sama orang-orang yang duduk di tepian, entah itu mancing atau ngobrol, jembatan yang kalau disapu ombak akan sedikit bergoyang.

Rada ngeri saat berpapasan dengan rombongan yang ngga mau jalan bergantian. Terkadang saya lebih memilih berhenti daripada lanjut tapi grogi malah bisa bikin nyebur pula.

Naik Perahu

Disambut oleh “nahkoda”, kami langsung diberi akses untuk menaiki perahu. Posisi perahu yang sedikit di bawah membuatnya berguncang kencang saat salah satu kaki melompat untuk berpijak kuat di lantai perahu. Belum apa-apa saya udah nerves duluan. Mau tanya apakah ada pelampung, tapi sadar ongkosnya cuma 5 ribu perak. Akhirnya pasrah dibawa “melaut”.

Berada di atas lautan yang tenang dan saya sendiri kurang yakin apakah itu dalam atau dangkal tetap saja bikin mental goyang. Untung saja jaraknya ngga terlalu jauh. Hanya butuh waktu 7-10 menit perjalanan kami sudah diantarkan di salah satu dermaga Kampung Nelayan.

Momen naik dan turun dari perahu itu adalah salah satu yang bikin deg-degan. Jangan bayangin dermaga itu terbuat dari beton kokoh. Hanya semacam bangunan terapung sederhana berlantai papan bersanggah kayu yang tetap saja bergoyang meski hanya dihujani langkah-langkah kaki.

Abang nahkoda sudah berjanji akan menjemput kami, jadi ongkos bisa dibayar sekaligus saat kami sudah tiba kembali ke Belawan. Kami ditinggalkan, sementara dia mengantarkan dan mencari penumpang lainnya.

Explore Kampung Nelayan

Di Belawan ada dua kampung yang disebut Kampung Nelayan. Salah satunya ini yang konon kata abang nahkoda (saya lupa tanya namanya) adalah kampung yang sudah lebih dulu ada dan usianya sudah lebih dari 50 tahun. Karena ada di atas air laut, tentu saja modelnya adalah bangunan-bangunan terapung.

Tidak ada akses berupa jalan darat ke sini. Satu-satunya transportasi andalan penduduk atau pengunjung ya hanya perahu.

Selama di pemukiman, kita tentu saja berjalan di atas susunan papan-papan sebagai pijakan. Papan-papan itupun tidak semuanya tersusun dengan rapih. Sebagian besar hanya ditimpa satu sama lain dan masih menyisakan lubang yang sudah pasti akan tembus pandang ke bawah. Kalau ngga fokus, kaki bisa kejeblos.

Sedikit kumuh adalah kesan pertama saya untuk Kampung Nelayan. Mohon maaf untuk siapapun yang membaca ini atau malah penduduknya kebetulan membaca ini. Langkah pertama kami masuk kampungnya malah disambut oleh dua ekor kambing, haha.

Ya, begitulah kondisinya. Bahkan binatang peliharaan pun hidup menyatu dengan rumah-rumah warga. Bisa ditebak, mereka ngga akan ada yang punya kendaraan bermotor disini. Bahkan sepeda pun sepertinya ngga dibutuhkan.

Seluruhnya bangunan dari mulai dinding dan lantai terbuat dari papan. Untungnya sudah ada aliran listrik yang menarangi Kampung Nelayan.

Meski terlihat ada program CSR dari beberapa perusahaan, tampaknya belum sepenuhnya mampu memperbaiki kondisi pemukiman.

Meski berdiri di atas air laut, namun ada sebagian lahan yang dangkal bahkan berupa daratan lembab. Sayangnya, sebagian daratan ini justru dihuni sampah-sampah yang kelihatannya sudah cukup lama berada di sana.

Di salah satu area, malah ada lapangan bulu tangkis yang kebetulan malam itu sedang ramai oleh anak-anak. Di depannya terdapat warung serta dua orang bapak-bapak sedang dangdutan dengan sebuah speaker.

Kampung Nelayan ini kelihatannya cukup luas. Semacam terdiri dari beberapa dermaga atau awamnya disebut RT/RW. Mungkin semacam beda kampung gitu, lah. Jadi setiap perahu nanti akan menurunkan penumpang di dermaga yang berbeda-beda dan masing-masing dermaga punya nama.

Jadi keliling lah perahu itu untuk menjemput dan menurunkan penumpang sesuai tempat tinggalnya. Dari beberapa dermaga itu, entah kenapa bang nahkoda menurunkan kami disini.

Saya ngga tau nama kampungnya apa dan mau kemana. Mau tak mau ya ikuti terus jalanan dan kemana suka kaki ini melangkah. Sayang, kunjungan saya kesana kebetulan dimalam hari. Padahal ingin sekali rasanya eksplor lebih jauh sekaligus ngobrol dengan warga setempat.

Selain bertukar nomor hp, kami sempat diajarin sama bang nahkoda caranya memanggil perahu di malam hari. Nyalakan saja lampu korek api (mancis) atau senter hp. Nah, itu salah satu kode supaya perahu datang menjemput. Sebab kalau malam hari, perahu yang beroperasi sudah terbatas.

Mungkin kalau siang hari, kode semacam itu tidak dibutuhkan sebab banyak perahu yang menunggu disetiap dermaga.

Rasa-rasa ingin sekali singgah pada salah satu rumah dan ngobrol dengan pemiliknya. Tapi kondisi malam hari dan sudah menjelang jam tidur, saya urungkan niat. Ada rasa sungkan sebab takut menganggu waktu istirahat. Mungkin lain waktu bisa berkunjung lagi untuk eskplor lebih banyak.

Kami sudahi jelajah singkat Kampung Nelayan. Setelah menelepon bang nahkoda, tak butuh waktu lama muncul sebuah perahu dan beberapa penumpangnya. Eh, disuruh pula kami naik dan diajak antar penumpang sekalian keliling katanya. Wah, kebetulan sekali. Buang rasa takut demi bisa keliling Kampung Nelayan di malam hari.

Waktu terbaik untuk berkunjung ke Kampung Nelayan mungkin disore hari. Selain matahari sudah lengser, aktifitas di Kampung Nelayan pun masih ramai. Bisa singgah di warung, makan minum sekaligus ngajak ngobrol warga atau singgah disalah satu rumah yang kebetulan pintunya terbuka. Tentu saja minta ijin dulu, dong. Atau ikutan main bulu tangkis seru juga. Syukur-syukur pulangnya dapat suguhan senja, kan 🙂

Galeri Foto

Karena diambil dimalam hari dengan kamera hp yang tidak support, mohon maaf untuk foto yang seadanya, lebih tepatnya bikin sakit mata hihi

24 tanggapan untuk “Berkunjung ke Kampung Nelayan Belawan

  1. Lumayan menguji nyali juga naik turun perahunya, tapi kalau yang sudah terbiasa tentunya seperti naik turun kendaraan umum di daratan ya.
    Kampung Nelayan di Belawan kalau melihat foto-foto pemukimannya, mirip dengan perkampungan di darat, kalau tidak membaca cerita mba Suci nggak ngeh kalau ada bagian yg perlu jadi perhatian penduduk setempat agar lebih dijaga kebersihan tempatnya. Semoga ke depannya kampung nelayan Belawan terus berbenah.

  2. Aku pernah ke kampung nelayan mbak. Karena suamiku termasuk orang pulau dan terbiasa naik perahu dan jembatan yg goyang. Ahaha. Kalau ke kampung nelayan di musim banyak ikan dan udang enak banget. Murah2

    1. Mungkin kurang lebih sama model rumahnya ya mbak. Emang tiap malam ada aja org2 yang hobi mancing pada mancing sampe pulang pagi segala…

  3. Kampung Nelayan seru juga yaa..
    Apakah bisa disebut dengan masyarakat adat?

    Aku salut banget sama para nelayan dan yang pasti mereka ahli dalam ilmu astronomi karena bisa membaca laut dari awan. Ka Suci juga tau gak, gimana cara para nelayan mencari ikan? Apakah menggunakan cara lama dengan menjaring dan memancing, atau bagaimana?

    1. Klo masyarakat adat keknya blm tepat, Teh krna ngga ada tanda2nya juga. lebih ke masyarakat pesisir…
      klo nelayan disana sebagian besar pake jaring. Banyak juga yang mancing tp sekedar mereka yang hobi bukan para nelayan

      1. Perjuangan banget yaa..
        Tapi hebat dengan segala tantangan hidup di pesisir pantai.

        Meski ya.. PR besarnya adalah masalah sampah.
        Bisa jadi lingkungannya kurang Sehat Karena ini.

  4. hahaha sadar ongkosnya cuma Rp 5 ribu jadi gak berani nanya pelampung
    Jadi nyawa harganya cuma 5 ribu perak, hiks 😀
    Eniwei ngelihat kampung nelayan, jadi inget kasus Rempang
    Mungkin seperti ini juga ya?
    Mereka nhidup sederhana, enggak neko-neko, tapi guyub

    1. hahaaa, tau lah orang Medan, Ambu, ditanya dikit nanti jawabnya ngegasss, hiksss
      Rempang apakah yang ada konflik itu kah?
      Hmmm sepertinya disini belum pernah ada kejadian apa2… sofar ngeliat penduduknya bener guyun, Ambu

  5. Eksplor dengan nuansa malam kek gitu cantik juga, walau di sisi lain buat daku agak bikin deg²an hehe.
    Untuk naik kapalnya dengan harga yang terjangkau karena jarak tempuhnya gak lama ya kak, jadi okeh juga ini buat jadi destinasi pilihan

  6. ngomongin naik perahu saya jadi ingat pengalaman sekian tahun lalu, naik perahu ke pulau Samalona di Makssar, dengan ukuran perahu yang seadanya, relatif kecil gara2 cari harga murah haha. Saya baru ngeh sesudahnya kalo kami sama sekali ga pake safety jacket dll. Qodarullah selamat bolak-balik sampai tujuan walopun sempet deg2an. btw kampung Nelayan Belawan ini lokasinya di Sumatera Utara kah?

  7. SAya pernah melewati kampung nelayan di Surabaya. Namun karena tidak punya kenalan dan sungkan akhirnya tidak mampir. Padahal seneng banget ya mbak kalau misalnya bisa mengunjungi kampung nelayan seperti mbak

  8. Kakaknya mertua (pakdhe) di Balikpapan tinggalnya di kampung nelayan. Modelannya ya gini, semua rumah berlantaikan papan-papan kayu, di bawahnya tuh air laut, beberapa ada yang kenanya pasir pantai. Setiap pagi, katanya, selalu ada nelayan yang bongkaran hasil laut. Bisa makan ikan gratis terus tiap hari, walau mereka gak melaut. Soalnya saling berbagi tuh sesama keluarga nelayan di sana.

    1. Iya sepertinya sebagian meraka bahkan bukan nelayan. Kerjanya di darat atau pedagang gitu deh…
      Makan ikan terus sih sehat ya, mbak tapi mungkin ada rasa bosen yaa, hehe

  9. Seru banet yang lagi maen ke Kampung Nelayan Belawan. Saya sering denger ceritanya saja nih Mba. Makin happy bisa makan ikan sepuasnya ya Mba. Mungkin enaknya waktu berkunjungnya dari sore ya kak, jadi bisa eksplore lebih banyak

  10. Wah Kak seru banget pengalamannya berkunjung ke Kampung Nelayan Belawan. Saya terpana lihat restoran terapungnya yang cantik. Tapi pas saya baca harus naik perahu dan walaupun ongkosnya terjangkau 5000 tapi nggak pakai pelampung saya agak was-was jujur. hehehe. Tapi unik ya ternyata di kampungnya ada tempat buat main bulutangkis juga

Tinggalkan Balasan