“Bu, hmm… Ngga jadi deh…”
Sarah hanya tersenyum pada ibunya dan kembali melongokkan kepala kecilnya pada celah celah jeruji pagar dan kembali menyaksikan anak anak yang sedang berebut balon pelangi yang dibagikan oleh panitia.
“Kenapa, nak? Berat, ya bakulnya? Hmm…gorengan kita hari ini belum banyak laku ya”. Sesekali ibu membuka daun penutup bakul dipangkuannya. Masih banyak dagangan tersisa hari ini, batinnya.
Sarah ingin sekali memiliki balon pelangi, ketika mendapati seorang panitia menatap matanya. Ada harapan balon yang tersisa di tangan si mbak akan jadi miliknya. Benar saja, si mbak mendekat ke arah Sarah. Ia pun tersenyum manis. Baru beberapa langkah, seorang anak perempuan sebayanya merengek pada ayahnya sambil menunjuk balon pelangi di tangan si mbak. Sudah tentu urung jadi milik Sarah.
“Bu, pelangi itu milik siapa? Apakah pelangi hanya milik anak yang punya ayah?”
Ibu membelai kepala Sarah…
“Kita ke musolah, yuk. Sudah masuk waktu Ashar. Kita ketemu Sang pemilik pelangi”.
Sarah tersenyum dan melangkah mengikuti ibunya ke musolah.
Pasti di Musala ada Agung. Yang punya pelangi kan Agung.
βPemilikmu Agung. Siapa gerangan.β
Eh, Agung itu yang memiliki apa yang melukis, sih?
π
Pelukis yg agung
πππ
Pelangi itu miliknya sii agung Kak hehehe
π
Pelukis itu..
Kan dia yg buatnya kak
Kan kadang beda yg buat beda pemiliknya. Kadang…. Hehe
Hahaha . . . kadang-kadang sih sering hehe
Tp seringnya kadang2 hihiii
Ternyata pesan moral yang begitu dalam, bisa juga ya disampaikan lewat cerita yang nggak terlalu panjang dan berbelit-belit.
Menarik!
Anyway, di kalimat paling akhir itu memang nggak tanda titik (.) nya? Atau kelewatan?
Ah iya kelewatan titiknya. Makasi mas Prima udh meluangkan waktu membaca.. π