Ntah kapan tepatnya saya punya keinginan untuk bisa mengunjungi Braga. Seperti halnya keinginan duduk menikmati suasana malam di Malioboro, Jogja atau bersepeda ria di Kota Tua, Jakarta. Braga, Kota Tua dan Malioboro, ketiga tempat yang akhirnya kaki saya meninggalkan jejaknya disana meskipun ngga sempat bersepeda ria. Mungkin akan ada Kota Tua part 2. Aamiin…
Saya punya ketertarikan dengan ketiga tempat itu setelah melihatnya dari galeri foto di internet. Ketiganya punya kesamaan. Dari mulai Gedung-gedung tua yang cantik dan estetik juga keingintahuan tentang sejarah yang melatarbelakanginya. Saya memang suka dengan hal-hal yang kuno, unik dan bersejarah. Bermula dari hayalan berbagai kegiatan apa yang seru dilakukan saat disana. Berfoto atau sekedar duduk santai menikmati sore sambil makan tahu gejrot atau es krim.
Sejarah Batavia Ada di Kota Tua
Janji saya ketika berhayal, saya harus ke Braga bila ada kesempatan berkunjung ke Bandung. Tahun 2016 kunjungan pertama ke Bandung belum ada kesempatan, lebih tepatnya ngga kepikiran. Kunjungan kedua juga belum ada kesempatan karna lebih banyak berwisata didua lokasi primadona luar kota Bandung. Tangkuban Perahu dan Kawah Putih. Kali ketiga akhirnya ke Braga plus bonus naik Bandros. Alhamdulillaah…
Tangkuban Perahu ,Kawah Putih , Naik Bandros
Sekilas Tentang Braga
Dahulu hanya sebuah jalan kecil yang punya julukan jalan culik akibat dari jalan yang terlalu kecil, sunyi dan rawan. Berangsur-angsur ramai sejak para Belanda bikin semacam toko pakaian dan kedai kopi. Terbukti yaa, sampe sekarang dimana ada fashion outlet dan warung kopi ramailah tempatnya. Menyusul kemudian dibangun gedung swalayan pertama di kota Bandung bernama De Vries. Terus Gedung Concordia yang saat ini bernama Gedung Merdeka kemudian hotel Savoy Homann yang menjadi tempat menginap tamu peserta Konfrensi Asia Afrika. Braga perlahan-lahan mulai ramai dan menjadi jalan utama.
Mendengar penuturan guide Bandros waktu itu, asal usul penamaan Braga berasal dari bahasa Sunda Ngabaraga yang artinya bergaya atau mejeng. Braga waktu itu memang menjadi tempatnya anak nongkrong. Sampe sekarang, sih. Ruas jalan yang tak terlalu panjang itu, dulunya jadi tempat pertemuan sambil jalan-jalan dan belanja. Sebab kala itu di kota Bandung, Jalan Bragalah satu-satunya tempat shopping paling bergengsi.
Pada masa itu, Belanda yang fashionnya berkiblat pada Prancis sehingga apa sedang gandrung di kota Paris, mereka ikuti dan dibawa sampai Bandung. Dari sinilah muncul istilah Paris Van Java. Tetapi sejarawan Bandung bernama Haryoto Kunto bilang, julukan Paris Van Java bukan untuk menunjukkan keindahan seperti di Paris, melainkan lebih pada kecantikan dan kemolekan mojang-mojang Priangan, yang mirip dengan kecantikan wanita-wanita di Paris. Begitu juga dengan istilah Kota Kembang, bukan berarti di kota Bandung banyak bunga, melainkan banyaknya mojang-mojan geulis (gadis-gadis cantik) di kota Bandung yang diibaratkan kembang wangi dan indah. Terbukti, sih. Saya liat perempuan Bandung itu cantik, manis dan modis dan lemah lembut. MasyaAllah…
Menjelang Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, bangunan-bangunan di jalan Braga dipercantik menjadikan jalan ini kembali hidup kembali dan meriah sampai sekarang.
Braga Sore Itu
Saya jadi tiba-tiba ingat apa yang bikin saya tertarik pada Braga selain mau lihat gedung-gedung tuanya. Adalah bola-bola batu yang diletakkan dihampir setiap sisi jalanan kota Bandung. Ya sama kayak Kota Tua juga punya bola-bola batu di pelatarannya. Ya ampun, sederhana sekali ya, hahaa. Maklum di kota saya Medan ngga ada bola-bola batu kekgitu. hikss. Selain itu saya tertarik pingin liat jalannya yang bisa hitam dan mengkilat (kalau difoto). Yang tadinya saya pikir itu paving blok yang sengaja dibikin warna hitam. Saya baru tau dari guide Bandros ternyata itu susunan dari batu endesit. Sejenis dengan batu pada candi-candi di Jogja. Wow, pantes eksotik…
Tapi, begitu nyampe batin saya berkata beda jauh dengan kondisi yang saya liat di foto dari internet, ya? Difoto ngga ada motor dan mobil terparkir tapi ini malah berjejer sesak. Di trotoar banyak tersedia mesin parkir tapi kenapa masih ada kang parkir? Lalu, bola-bola batunya jadi ketutupan, dong. Pada intinya mengurangi keestetikan jalan Braga. Menurut saya sih, gitu. Ngga tau apakah memang sedari dulu tempat parkiran memang disitu atau pas saya liat difoto momen lagi ngga ada kendaraan parkir? Coba disterilkan dari parkiran, kan lebih cantik, ya.
Waktu ke Kota Tua, yang langsung keinget adalah Malioboro dan Tugu Jogja. Nah waktu ke Braga, yang keinget adalah Malioboro dan Kota Tua. Ketiganya punya vibe yang sama. Saya juga bingung mau menyampaikannya. Pokoknya saat berada disana seperti terkenang akan sesuatu atau seseorang tapi ngga tau apa dan siapa. Mungkin karna saya orangnya perasa. Syukurnya yang dirasakan itu adalah vibe positip, tenang, damai yang bikin selalu rindu dan ingin kembali….
Bersantai Malam di Tugu Jogjakarta
Dimasa pandemi, ngga heran kalo selesai long weekend Bandung selalu naik status jadi zona merah. Habisnya ngga ada alasan untuk ngga berkunjung kesana. Angin, hujan, dingin, sinar, suara, semuanya bikin betah. Ibaratnya minus Bandung itu ketutup sama segala positifnya. Saya berlebihan, ya? Hehe. Warga Bandung CMIIW, ya. Setidaknya itu yang saya rasakan saat tinggal beberapa hari disana. Problema kemacetan, kabel listrik yang rendah dan njelimet, atau para tuna wisma dan pemulung yang mengiris hati adalah potret kehidupan diseluruh kota besar termasuk Bandung. Hebatnya Bandung selalu bisa melengkapi itu semua dengan deretan prestasi. Setidaknya wisata dan fashionnya tetap jadi juara.
Saya mengunjungi Braga selepas Juhur. Menumpang taksi online dari daerah Wastukencana butuh waktu sekitar 15 menitan. Kesan pertama adalah, RAME!. Hayalan foto kek di IG itu pupus sudah, haha. Maklum malam minggu. Selepas makan bakso Boedjangan, yang ada di dalam Braga City Walk barulah petualangan sederhana dimulai. Sederhana karna cuma berjalan santai karna memang ngga ada kegiatan lain selain memang lagi ngga ada acara apa-apa disana. Itu gimana ya bahasanya? haha. Dan sesekali foto pas dapat momen dan tempat foto yang pas. Salah satu momen yang pas selain jauh dari orang-orang dan nemu spot yang bagus adalah jauh dari pengamen.
Sedikit cerita tentang pengamen disana. Bagi saya pengamen di sekitar Braga dan Asia Afrika serta Alun-alun itu menyebalkan. Mereka biasanya berdua, yang satu pegang gitar satu lagi bawa kotak dengan lobang di tengahnya mirip speaker jadul itu dikepuk-kepuk jadi gendangnya. Mengganggu sekali! Mengganggunya itu mereka pantang liat orang berdiri, ntah berdiri sebentar, berdiri liat hp, berdiri karna mau nyebrang atau berdiri mau fotoan pokoknya berdirilah. Apalagi sedang duduk atau berkumpul pasti didatangin. Ngga peduli kita udah pasang muka nolak atau cuek atau pura-pura liat hp atau pura-pura ngobro. Pokoknya penuh kepura-puraanlah. Mereka malah jauh lebih cuek lagi nyanyi yang lagunya cuma itu-itu aja dan sebait lirik doang. Jalan beberapa meter ketemu pengamen yang sama model cuma beda orang. Begitu seterusnya. Bahkan kita akan ketemu dan dinyanyiin oleh pengamen dengan orang yang sama sebelumnya. Saya malah ketemu pengamen yang maksa. Mau nangis rasanya, hiks! Jadi keinget Calung Jogja, pengamen jalanan rasa konser dengan alat musik lengkap yang biasa tampil di Malioboro setiap malam atau beberapa perempatan jalan bikin kita betah berdiri lama buat nonton dan ngga sayang ngeluarin uang buat sumbangan.
Dikawasan yang konon katanya ngga pernah sepi selama 24 jam ini (selain dimasa pandemi) memang bener-bener seperti pusatnya anak-anak mejeng. Seru aja liat orang-orang berfoto OOTD dengan latar belakang gedung tua. Selain itu saya suka mandangin lukisan dan nonton para seniman itu sedang melukis. Banyak kafe, toko aksesoris, oleh-oleh, dan panganan khas Bandung juga disini. Bangunan-bangunan tuanya semakin menambah kesan romantis, loh. Apalagi ada angin sepoi-sepoinya. Intinya saya betah.
Hayalan berikutnya kalo ada kesempatan lagi kesana dan punya banyak waktu, saya pingin dilukis.
Banyak Hantu di Asia Afrika
Selesai mengitari Braga, saya bergegas nyebrang menuju Alun-alun. Tujuannya mau naik Bandros. Eh, kok ternyata sepanjang jalan itu masih banyak bola-bola batu dan masih banyak bangunan estetik lainnya. Ternyata di ujung Braga adalah Jalan Asia Afrika. Disinilah pusatnya bangunan-bangunan bersejarah. Diantaranya ada Museum Asia Afrika, Gedung keuangan, Gedung Merdeka, Wisma Bumi Putra dan juga Hotel Savoi Homan. Selain gedung-gedung cantik, disepanjang jalan ini banyak hantu bergentayangan. Suka ngganggu, suka ngikutin. Meskipun ramah tamah tetep aja mereka ini ngagetin. Bukan, mereka bukan hantu beneran. Mereka adalah sebagian dari pencari nafkah yang berkosplay menjadi beraneka ragam hantu. Dengan tujuan menghibur dan mengambil upah dari jasa foto bersama. Pas deket mereka saya beneran takut, tapi udah nyampe Medan nyesel juga ngga ada foto kenang-kenangan sama hantu Bandung. Next, harus berani foto.
Menyusuri jalan Asia Afrika bahkan saya baru tau setelah balik dari halte Bandros kalo ternyata tulisan para pujangga yang fenomenal dan sering saya lihat di internet itu adanya di dinding jembatan penyebrangan yang sebelumya saya lewati waktu mau ke halte Bandros. Beruntungnya saya sempet fotoan disitu meskipun penuh perjuangan. Berlomba dengan kendaraan nyebrang bolak balik. Aku terharu…. hehe
Sayang Masjid Raya masih ditutup. Mungkin bener-bener akan ada Bandung jilid berikutnya, nih.
Lewat Asia Afrika Naik Bandros
Dan hayalan saya yang paling penting berikutnya adalah mau jalan-jalan di Bandung sepanjang hari tanpa masker, tanpa jaga jarak dan tanpa takut sama virus. Aamiin…
Aq dari dulu pengen nikmati jalan kaki di braga dan asia afrika tp blm kesampaian. Seringnya melintas aja pake mobil pas ke Bandung.
Cobain jln2 sore dsna syer.. Palagi bandung kan adem yaa. Cuacanya enak hehe
Doakaan ya smoga suamiku mutasi ke cabang bandung hehe. Skrg mau ke bandung aja mesti naik pesawat dulu.
Aamiin.. aku aja pingin jd org Bandung. Smoga dpt jodoh org bandung, hahaa