Tanjung Balai Asahan, Ada Apa dan Kemana Aja?
Tanjung Balai Asahan dikenal sebagai kota penghasil kerang dan ikan. Karena itu pula, dalam bayangan saya, kota ini ada di pinggir lautan dan banyak pantainya. Panas udah pasti, tapi sudah lama pula memang pingin kesana sejak wacana bersama komunitas. Jadi penasaran itu terjawab ketika minggu lalu kami gabut naik KA pagi-pagi demi “biar pernah”.
Jadwal KA dari stasiun Medan hanya ada tiga, jam 7 pagi dan 2 siang serta jam 7 malam. Karena ngga nginep, kami pilih jadwal pagi. Berangkat jam 7:15 nyampe stasiun Tanjung Balai jam 11:35. Berarti perjalanan terbilang cukup lama, memakan waktu 4 jam lebih. Kalo orang Medan bilang “tua-tua di jalan”.
Nah, emang disana rencananya kita mau rental motor, tapi karena ngga ada yaudah opsi lain adalah sharing mobil online. Sebenernya sih sebelumnya saya udah browsing juga mau kemana aja pas udah di sana. Tapi seriusan, sedikit sekali info yang didapat mengenai atraksi turis atau destinasi di Tanjung Balai. Ada juga pantai dan hutan mangrove, tapi posisinya jauh dari kota dan terkendala di waktu.
Terus kursi di KA-nya itu kan hadap-hadapan, tuh. Iseng nanya sama penumpang di depan ada apa aja di Tanjung Balai. Oiya FYI: KA ekonomi ke Tanjung Balai ini ongkosnya cuma 27 ribu. Kursinya formula 3-2, hadap-hadapan, sedikit busa dan sandarannya tegak lurus, yess. Jadi kalau perjalanan jauh lumayan terasa pegelnya.
Untungnya pemandangan sepanjang perjalanan kesana jauh lebih baik daripada view ke Siantar. Ke Tanjung Balai, didominasi dengan pemandangan sawah, ladang, kebun dan perkampungan. Jadi ngga terlalu pusing dan ngga bosen-bosen banget, sih.
Oke, lanjut…
Jadi kakanya pun bingung ngejawab apa. Dia juga ngga tau mau nyaranin kami kemana dan dia bilang ngga ada yang namanya ojek online. Serius?? Sedikit ngga percaya, saya buka aplikasi salah satu transportasi online. Ada, kok! Ah, kakaknya kurang jauh mainnnya.
Singkat cerita, nyampe di stasiun.
Di pintu keluar, rameee banget sama tukang becak yang nawarin jasa. Sementara kami terbengong-bengong karena masih belum tau mau kemana, hahaa
Sampe di pelataran stasiun, kami terus aja jalan kaki keluar pagar sampe ke jalan raya sambil selalu nolak tawaran becak dengan penuh sopan santun. Jalan kaki aja terus sampe akhirnya nyerah dan berhenti di Indomaret.
Duduk di teras indomaret sambil mulai ngecek destinasi sekalian order ojek online. Aplikasinya sih aktif, proses pencarian driver juga berjalan tapi ngga dapet-dapet tuh mobilnya. Kami nyerah, akhirnya manggil abang becak juga yang bener.


Ada Apa di Tanjung Balai
Vihara Tri Ratna
Tujuan pertama pingin nengok vihara. Kebetulan dari semuanya tempat, vihara ini paling deket dari tempat kita duduk. Nawar becak yang tadinya 20 ribu jadi 10 ribu, dong. BTW, becak-becak di sini ukurannya gede-gede. Bisa naik sampe 4 orang dewasa.
Ngga nyampe 10 menit, kita udah ada di depan vihara yang ternyata ada dua bangunan berbeda yang letaknya bersebelahan. Sayangnya ternyata pengunjung ngga bisa masuk ke dalamnya. Untung di bagian depan sisi kiri, terdapat bangunan bersejarah lainnya yang diberi nama Balai Ujung Tanjung.


Balai Ujung Tanjung
Bangunan panggung bercat putih gading ini bentuknya bulat. Tadinya pintu depan tertutup rapat, jadi saya pikir ngga untuk dikunjungi masyarakat umum. Saya keliling ke arah belakang bangunan yang langsung menghadap ke Sungai Asahan.
BTW, Sungai Asahan ini ternyata aslinya luas sekali. Udah mirip seperti lautan ditambah banyak perahu nelayan berukuran besar bersandar di dermaga.
Di belakang bangunan balai, ada sebuah mesjid kecil terapung. Sederhana tapi cantik. Sayang, pagarnya juga digembok jadi saya ngga bisa masuk.
Ketika hendak keluar, saya melihat seorang abang-abang berpakaian seperti tentara tapi bukan tentara, seperti security tapi bukan security, keluar dari bangunan balai. Sepertinya dia mau bersiap keluar karena sepatu booth dan motor trailnya sudah ready di pelataran.
Waktu saya minta izin masuk ke dalam, eh, dikasi dong. Akhirnya, masuk juga ke dalam bangunan Balai Ujung Tanjung.
Bangunan ini hanya ada 1 ruangan besar yang berisi pelaminan raja di salah satu sudut. Disisiannya berdiri tiga lemari kaca yang masing-masing berisi sepasang pakaian adat melayu. Dindingnya dipenuhi lukisan dan mural tokoh-tokoh melayu.
Ngga banyak info yang saya dapat mengenai bangunan ini, sebab kata abangnya, informannya sedang tidak di tempat.
Ngga masalah, yang penting sudah tuntas rasa penasaran isi dari Bangunan Balai ini.
Related Post: Taman Kebun Bunga Tjong Yong Hian Medan



Monza
Monza kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti pakaian bekas (thrift). Monza sebenernya adalah singkatan dari Mongonsidi Plaza, sebab dahulu pasar barang bekas di Sumut, pusatnya ada di jalan Mongonsidi Medan.
Selain terkenal sebagai kota kerang, Tanjung Balai Asahan juga terkenal dengan monzanya. Dari Balai, kami sempet nawar becak. Cuma karena abang becaknya banyak kali cakapnya, kami putuskan untuk jalan kaki pelan-pelan. Kalau soal jalan kaki jangan ditanya lah. Sampe di jembatan, bertanya ke penjual jajanan lokasi monza yang dimaksud, ibunya bilang “dokatnya, lurus saja lagi abis jembatan sampelah kalian”.
Related Post: Cerita Random Jalan Pagi
Bener aja, cuma melewati jembatan, nyampe deh di pusat monza. Jajan cakwe dan kue bohong dulu terus masuk ke pasar monza. Ngga lama-lama karena ternyata pasarnya ngga lebih ramai dari pusat monza yang ada di Medan. Barang dan harganya juga sama aja. Kami memutuskan keluar dan cari makan siang ke pelabuhan yang katanya ada banyak olahan seafood. Oke kita tawar becak lagi.

Pelabuhan Teluk Nibung
Rekomendasi dari penjaga Balai, tempat makan yang enak itu di pelabuhan soalnya ada seafood dan viewnya cantik.
Keluar dari pasar monza, saya menawar becak. Pokoknya nawar becak mulu, lah. Setelah deal harga, kami dibawa menuju lokasi. Dalam perjalanan, kami banyak ngobrol dengan abang becak. Anehnya dia malah ngga tau kalau di pelabuhan ada resto yang menawarkan menu seafood.
Sejenak kami ragu, entah siapa yang salaaaaaah…. (jangan sambil nyanyi bacanya). Penjaga balai atau tukang becak, atau malah kami yang salah menangkap informasi.
Sepanjang jalan, kanan dan kiri dipenuhi bangunan pengepul ikan hasil tangkapan. Ikan-ikan inilah yang nantinya akan didistribusikan ke daerah lain termasuk ke kota Medan.
Singkatnya, kami sampe di pelabuhan. Suasana sepi, ngga seperti pelabuhan penumpang pada umumnya yang biasa diramaikan oleh penumpang, pengantar, porter dan pedagang. Mungkin karena pelabuhan ini bukan berada di kota transit, ya.
Dari gerbang utama, sisi kiri adalah toilet dan musholah serta perkantoran. Sisi kanan ada parkiran motor lalu warung makanan dan gedung utama pelabuhan.
Satu-satunya area warung ya yang ada di sisi kanan ini. Kurang lebih ada 4 lapak bersebelahan. Kami memilih duduk di area outdoor pada sebuah meja bulat berpayung besar berhadapan dengan sungai. Tanjung Balai kotanya panas dan gerah bangeet. Ciri khas wilayah pesisir pantai.
Kakak pemilik warung nyamperin dan memperlihatkan buku menu. Tapi ngga ada tuh olahan seafoodnya. Ada sih kerang rebus, itupun lagi kosong. Lah yang dimaksud abang penjaga balai itu pelabuhan yang mana? Berarti bener abang tukang becak dong yang bilang ngga ada warung seafood di pelabuhan. Au ah, keburu laper pesan yang ada aja. Ayam bakar.
Untung viewnya lumayan cakep deh. Makan with a view sungai asahan dan kapal veri tujuan Malaysia yang sedang bersandar. Dari obrolan sama kakak penjaga warung, perjalanan dari Tanjung Balai ke Malaysia kurang lebih 5 jam dengan tarif 1.6 juta rupiah. Hmm, lumayan, ya…



Pantai Pasir Putih Geseran Naga
Pelabuhan mendadak ramai diserbu pengunjung keluarga besar. Ternyata memang tempat ini pavorit pengunjung untuk bersantai. Semakin sore, semakin ramai manusianya. Karena udah ngga nyaman, kami menyudahi bersantai di pelabuhan dan rencana lanjut ke destinasi berikutnya yang belum diketahui mau kemana, hahaa
Sambil berjalan kami masih memikirkan arah tujuan. Tawaran becak pun kami abaikan karena ya belum tau aja kemana. Tapi panas matahari bikin kami menyerah lagi. Becak terdekat kami panggil dan nanya ongkos kalau ke pantai.
Ditanya pantai mana kamipun bingung jawabnya, wkwkw. Masih ada 3 jam lagi sebelum jadwal keberangkatan KA. Akhirnya ditawarin ke pantai pasir putih dengan tarif yang lumayan mahal. Alasannya lokasinya lumayan jauh. Tapi the power of emak-emak, akhirnya dapat kesepakatan tarif.
Bener aja, saking jauhnya, perjalanan hampir setengah jam. Melewati jembatan Tabayang sejauh 700 Meter, merupakan terpanjang di Sumatera Utara. Tibalah juga di pantai yang dimaksud. Abang becak udah kami carter sampe pulang jadi dia dengan setia menunggu di parkiran.
Pantainya segaris pendek doang. Sekilas mirip pantai pada umumnya. Berpasir halus dan ombak-ombaknya bukan dari angin atau air pasang, melainkan gelombang air yang dihasilkan dari perahu-perahu yang melintas. Dari abang tukang becak kami tau kalau pantai ini ternyata dibuat sendiri oleh pemilik lahan. Sebelumnya pantai ini hanyalah rawa-rawa air payau. Kreatif, sih.
Kami ngga banyak melakukan aktifitas. Cuma duduk dan cerita-cerita doang sambil nontonin anak-anak sekolah bikin konten, di sebelahnya ada keluarga lagi asik main air. Sesekali baca tulisan Teh Okti Blogger Cianjur yang lagi semangat bercerita tentang anaknya yang Mondok di Gontor. Lelah bukan karena berkegiatan, tapi lebih ke faktor cuaca yang panasnya Masyaallah.



Kurang lebih satu jam sebelum jadwal kereta, kami putuskan untuk kembali ke stasiun.
Begitulah kurang lebih aktifitas yang bisa dilakukan kalau sekiranya sedang ada di kota Tanjung Balai Asahan. Karena keterbatasan waktu, kami ngga sempat melihat-lihat suasana pusat kota yang katanya ada alun-alun.
Namanya alun-alun itu serunya di sore menjelang malam, kan. Sementara KA berangkat pukul 19:25. Yasudah mungkin lain waktu ada kesempatan main ke Tanjung Balai Asahan lagi. Bye kota kerang, see you when i see you…
Artikel ini terpilih untuk ditampilkan dalam kampanye “Top Travel Blog 2025” dari penerbit bahan ajar pendidikan Twinkl
Galeri Foto





























