Sabana Gunung Sinabung, Permata di Balik Desa Mati

Sabana Gunung Sinabung, Permata di Balik Desa Mati

Sabana Gunung Sinabung sudah lama menjadi incaran saya sejak pandangan pertama sore itu. Waktu itu, saya hanya bisa menatapnya dari kejauhan, pada sebuah kafe di Desa Naman Teren sambil membatin “seru kali ya kalau bisa main ke padang rumput di sana”.

Related Post: Spot Terbaik Memandang Gunung Sinabung

Sejak erupsi tahun 2010 dan terus-menerus mengalami erupsi hingga 2015, jalur pendakian ke Gunung Sinabung ditutup hingga detik ini.

Beberapa waktu lalu, kembali main ke Desa Naman Teren. Tujuannya ke anak sungai bekas aliran lahar Gunung Sinabung. Menuju kesini, mayoritas pengendara memilih jalan via Pamah Simelir.

Entah kenapa, perjalanan melewati daerah perhutanan Pamah Simelir yang selalu berkabut tebal, sepi, seram, pokoknya horor itu ngga pernah bikin kapok. Jangan sampe, sih…

Beberapa kawan-kawan bilang pernah berserak (kecelakaan) di jalur itu. Padahal pengakuannya mereka berkendara sewajarnya saja. Saya, sih, ngga percaya. Palingan berlagak jadi pembalap dan manuver-manuver di tikungan 😀

Terakhir lewat saya menyaksikan sebuah mobil bak terbuka terperosok ke dalam parit dangkal setelah melewati berem jalan. Belakangan saya dengar kalau mobil itu mengalami rem blong.

Pamah Simelir adalah sebuah wilayah beriklim sejuk tempat perlintasan dari dan menuju Tanah Karo via Kabupaten Langkat. Konturnya menikung, menanjak dan menurun tajam. Ya, seperti jalanan menuju dataran tinggi pada umumnya. Melewati wilayah ini memang banyak sekali tempat persinggahan untuk tujuan wisata.

Related Post: 8 Tempat Wisata Hits di Pamah Simelir, Langkat

Selain Pamah Simelir, Kaki Gunung Sinabung juga menjadi incaran pengunjung untuk piknik atau berkemah. Menuju ke area ini, memang harus melewati Pamah Simelir dan jalanan sepi di kawasan hutan lindung. Banyak yang bilang, masuk kawasan ini kek masuk ke dunia lain.

Waktu berkemah ke Rumah Ladang Simelir lalu, adek saya yang konon bisa “melihat” mengaku sepanjang jalan itu bertemu dan diisengin dengan banyak “mahluk” berbagai rupa. “Makanya aku ngga berani kencang bawa motornya, mbak”. begitu katanya.

Kabarnya orang yang bisa “melihat” begituan, energinya banyak terserap dan cenderung bisa merasa lelah setelahnya. Wallahuallam…

Saya memang sudah beberapa kali melewati jalan itu. Setiap lewat, yang aneh menurut versi saya yang sama sekali ngga bisa “merasakan” atau “melihat” adalah merasa selalu sendiri ketika melewati sepanjang jalan itu.

Maksudnya, ketika masih berada di Pamah Simelir berasa banyak temen motoran atau kendaraan lain yang menuju ke arah Tanah Karo. Tapi begitu masuk jalan sepi itu kok mereka ngga ada, ngga tau pada kemana. Kalau singgah di warung ya masa semuanya, sih? Lalu setelah melewati jalan sepi itu tau-tau ketemu lagi aja dengan banyak pengendara lain dan hawanya langsung berubah.

Begitu juga sebaliknya, kalau menuju pulang ke Medan dari Tanah Karo sering ngerasa lega karena ngeliat banyak motor dan mobil menuju arah pulang. Tapi giliran udah sampe kawasan sepi, mereka semua ngga ada. Setelah sampai di Penatapan Pamah Simelir kembali bersua dengan pengendara lain.

Tapi kalau ini saya ngga tau persis, sih, entah emang beneran sendiri karena mereka masih pada singgah-singgah jadi ngga ketemu di jalanan sepi atau emang sepi karena hal-hal yang di luar nalar. Wallahualam…

Satu pengalaman lain yang masih saya ingat ketika kali kedua melewati jalan sepi. Waktu itu sepulang touring dari Ujung Silalahi cuma berdua bersama adek saya dan kami memilih Pamah Simelir menuju Medan. Sebelum masuk ke jalanan sepi, memang ada sebuah jembatan. Cuaca yang tadinya cerah, mendadak mendung gelap dan dingin. Saat itu masih sekitar jam 5 sore. Bener-bener kaya masuk dunia lain.

Related Post: Eloknya Desa Binangara di Ujung Silalahi

Di pertengahan jalan sepi itu, kami melihat ada seorang perempuan dengan dress ketat mini berdiri di sisian jalan pas di tikungan sambil memegang HP. Dia kayak sedang menunggu. Namanya di tikungan trus kita papasan sama kendaraan lain aja bikin kaget ya, apalagi ini ngeliat sosok manusia tau-tau nongol di tikungan sepi. Untung aja ngga oleng.

Sampe di rumah, bahkan sampe sekarang kalau diingat-ingat kami masih penasaran itu manusia beneran atau jadi-jadian. Kalau beneran manusia, perempuan pula, pakaiannya mini pula, kok berani-beraninya berdiri sendirian di wilayah yang terkenal misterius itu. Ngapain?

Kalaupun ada apa-apa dengannya kenapa ngga minta tolong atau berusaha memberhentikan setiap kendaraan yang lewat?

Ah sudahlah, ya. Yang saya syukuri, beberapa kali lewat, beberapa kali itu juga saya selamat pergi dan pulang. Alhamdulillah…

Salah satu video tiktok yang menggambarkan kondisi jalan sepi dari dan menuju Pamah Simelir. Kalau masih penasaran, banyak banget video di tiktok yang menggambarkan jalan Pamah Simelir dengan berbagai situasi.

Yes, saya pernah merasakan lewat sana pas sore mendung berkabut tebal persis seperti di video, pernah juga tengah malam hujan deras berkabut tebal dan juga sore cerah berkabut. Ngeri-ngeri sedap, lah, haha.

Oke, kembali ke cerita awal karena udah jauh kali kemana-mana cerita kita ini, wkwkw

Perjalanan Menuju Sabana

Tadi kan ceritanya mau ke anak sungai bekas aliran lahar. Menurut map, letaknya di kaki Gunung Sinabung masih di Desa Naman Teren. Singkat cerita, nyampe lah, kan.

Terus liat sungai dan postingan orang kok beda bangeet. Aslinya sungainya kecil dan sepertinya bukan aliran lahar yang dimaksud dipostingan itu. Lalu saya lihat satu keluarga yang sepertinya sama-sama pengunjung sedang berjalan menuju tempat saya berdiri.

Iseng saya tanya,”Bu, dari mana ya?” Pertanyaan konyol ya? urusan apa saya nanya dia darimana atau mau kemana, haha. Untung orangnya paham dan dengan baiknya ngasi info kalau di sebelah sana ada sabana. “Bawa aja keretanya (baca: motor) ke atas, kalau kami karena pake mobil jadi harus jalan”.

Oke, siap, Bu!

Hanya beberapa kali tarikan gas, kami memasuki sebuah desa mati. Desa yang menjadi saksi bisu ganasnya letusan Sinabung yang menyebabkan pemukiman mereka harus hangus dan sebagian tenggelam oleh abu dan lahar.

Situasi mendadak sunyi sepi. Bulu kudukpun merinding membayangkan betapa mencekamnya mereka pada saat itu. Desa yang berada tepat di bawah kaki Gunung Sinabung disapu bersih oleh abu vulkanis

Saya sempat ragu, karena ada dua belokan, dan ngga ada yang bisa ditanyain. Tapi haqul yakin, kami menuju sisi kanan pada jalanan berbatu, terjal dan menanjak. Sepanjang jalan bangkai-bangkai rumah yang sebagian sisinya menghitam sudah dipenuhi tumbuhan liar.

Letusan dan erupsi tiada henti selama bertahun-tahun memaksa warga untuk meninggalkan desa dan harta bendanya demi menyelamatkan jiwa. Tak hanya harta benda, warga juga harus merelakan sumber kehidupannya ikut mati terkubur.

Semakin jauh, jalanan semakin terjal dan menyempit. Tak jarang motor hampir tergelincir karena terpeleset bebatuan. Sebuah tanjakan tajam berbatu membuat saya jiper, nyali saya ciut dan memaksa saya untuk turun dan memilih berjalan kaki. Salah pilih alas kaki membuat pendakian saya sedikit tertatih-tatih.

Belum lagi bertemu kawanan sapi yang menjadi penguasa jalanan sempit itu. Saya pasrah berdiri menunduk dan mematung karena udah mentok ngga tau mau minggir kemana lagi sambil berdoa-doa semoga ngga ada yang nyeruduk.

Selesai aman melewati kawanan sapi, kembali berhadapan dengan jalanan berbatu. Lalu hutan dan kebun warga hingga akhirnya melihat beberapa motor terparkir. Alhamdulillah, ngga nyasar.

Sampe di parkiran, “derita” belum berakhir, karena selain tarif parkir yang lumayan (20 ribu) bikin saya semakin ngos-ngosan, bekal kerupuk saya yang cuma dua bungkus (putih dan warna warni) salah satunya juga “dipalak” sama bang parkir, menyisakan satu bungkus kerupuk warna warni yang akhirnya saya pilih menemani perjalanan ke Sabana. Huhuu

Kami ngga bawa cukup bekal dan salah kostum karena emang tujuan utama bukan kesini. Berbekal sebotol air mineral dan 2 bungkus kerupuk saja, hahaha

Wellcome to Sabana Gunung Sinabung

Karena di”sogok” sebungkus kerupuk, bang parkir jadi baik hati menerangkan rute terbaik menuju sabana. Tak menunggu lama, kami langsung melangkahkan kaki melewati bebatuan bekas aliran lahar. Karena tak ada jejak kaki, kami berbelok ke kiri melintasi jalan setapak diantara rerumputan.

Keasyikan berjalan, memandang dan foto-foto kami tak sadar sudah salah tujuan. Mana sabananya? Yang ada malah semak-semak. Tapi begitupun pemandangan Kabupaten Tanah Karo di bawah sana membuat mata tak ingin lepas memandang dan kaki terus melangkah.

Dua orang pria yang kami jumpai tadi semakin jauh ke depan dan telah pun menghilang. Sampah styrofoam bekas makanan menjadi tanda bahwa disini pernah ada jejak. Oke, artinya masih aman. Tapi semakin jauh, alih-alih ketemu sabana, justru ilalangnya semakin tinggi.

Ah, karena hari semakin sore dan ngga mau ambil resiko, kami berbalik arah menuju parkiran. Di pertengahan jalan pada sebuah pohon rindang, kami kembali menemukan setapak jalan menuju arah gunung. Kami masih penasaran dan melangkah mengikutinya.

Di sana bertemu dengan bapak penggembala sapi dan sedikit bertanya perihal sabana. Benar saja, kami tadi telah salah jalan. Lalu kami diarahkan menuju ke atas melalui jalan terjal bebatuan dengan kemiringian hampir 60 derajat.

Tidak terlalu menungkik tajam, hanya saja bebatuan yang tersebar itu cukup menjadi penghalang langkah.

Tadinya saya sempat urung mengingat hari semakin sore dan sedikit ciut karena ngga ada teman lain. Tiba-tiba muncul bang parkir mengendarai motornya lalu memaksa kami menanjak karena memang disanalah sabananya. Sebelumnya memastikan dulu aman atau tidaknya.

“Mau sampe malam, pun, aman, kak”, katanya…

Melihat bapak pengembala naik, saya pun antara ciut dan penasaran karena sudah sangat sore dan sepatu yang kurang nyaman. Tapi ujungnya kaki saya juga yang ujug-ujug melangkah seperti tanpa aba-aba dari otak. Agak laen, ya.

Tiba-tiba bersemangat mendaki tanjakan. Bahkan lebih santai dari pendakian melewati desa mati dan salah jalur sebelumnya. Cuaca cerah, angin bertiup pelan memudahkan saya menuju sabana. Tak lupa ngemil kerupuk “penambah tenaga” biar makin semangat.

Sekalinya saya menoleh ke belakang, ternyata masih ada yang menyusul. Lega…

Singkat cerita, kurang lebih 15 menit mendaki, akhirnya, voila!

Wellcome to Sabana Sinabung…

Sabana ini berada di ketinggian kurang lebih 1500mdpl. Setengah jalan lagi sudah sampai puncaknya. Sejauh mata memandang, adalah padang rumput luas yang hijau hijau dan hijau. Sayang, pucuk gunung tertutup kabut tebal. Bapak pengembala sudah berkumpul dengan sapi-sapinya di ujung sana. Di ujung lain, tiga pendaki sedang sibuk berswafoto.

Saya berlari-lari kecil mengitari rerumputan. Nikmat Tuhan mana lagi yang hendak didustakan…

Saya sedang berdiri di kaki Gunung paling gagah di Sumatera Utara yang pernah mengamuk. Berbalik ke belakang, pemandangan sekabupaten Tanah Karo semakin meluas.

Saya berdiri di sebuah sabana yang dulu pernah saya pandang dari kejauhan. Hari itu berbalik posisi, saya memandang tempat dimana saya duduk sambil memandang sabana sembari berkata dalam hati, “Seru kayaknya hiking kesitu”.

And it really came true!

Oh Deleng Sinabung na Mejile, Mejuah-juah, kam, ya… 🙂

Saya pasti kembali dengan persiapan matang. Tentu saja outfit yang proper dan bekal yang bukan cuma kerupuk supaya bisa lebih tinggi mendakinya.

Galeri Foto

A simply mom.. About live, life, love and laugh...
Pos dibuat 391

Satu tanggapan pada “Sabana Gunung Sinabung, Permata di Balik Desa Mati

Tinggalkan Balasan

Pos Terkait

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.

kembali ke Atas
error: Content is protected !!