Bencana Akhir Tahun 2025

Bencana Akhir Tahun 2025

Saya lahir dan besar pada salah satu desa di Kecamatan Sidamanik yang pernah terkenal memiliki perkebunan teh terbesar kualitas ekspor dan terindah di Sumatera Utara, tapi PADA ZAMANNYA. Iya, saya katakan sekali lagi pada zamannya. Tahun 90-an, ngga populer karena belum ada medsos dan HP. Cuma ada TV hitam putih, dengan siaran album minggu, kamera ria dan dunia dalam berita. Setidaknya itu yang masih saya ingat.

Bahkan kendaraan, sekelas sepeda motor-pun hanya kalangan berada yang punya. Mereka biasanya para pedagang grosir, toke bangunan dan petinggi perkebunan atau minimal mandor. Kami, penduduk kampung dan sebagian besar karyawan pabrik teh, punya sepeda ontel saja sudah terasa mewah.

Sekelas kecamatan biasanya cuma punya 1 sekolah negeri yang setingkat SMP dan SMA. Sekolah swasta juga ada tapi letaknya sedikit mendekat ke kota. Sehingga kami anak-anak sekolah yang tinggal di perkampungan sebagian besar harus berjalan kaki beramai-ramai menuju sekolah yang jaraknya bisa sampai 3KM. Artinya pulang pergi harus rela berjalan kaki sejauh 6KM.

Panas ya kepanasan, hujan ya kehujanan itu sudah hal yang biasa. Saya yakin bukan cuma saya yang nir uang jajan, sebab uang 100 perak saja bagi kami susah mendapatkannya. Kulit hitam legam terbakar sinar matahari khas dataran tinggi dan menahan lapar saat pulang sekolah itu juga sudah jadi makanan kami sehari-hari.

Kalau saya, alhamdulillah setiap pagi mamak masih sempat menyediakan sarapan, pun pulang sekolah sudah ada makan siang. Tapi tidak dengan sebagian teman-teman yang lain yang orang tuanya bertani, subuh sudah harus ke ladang, pulang ke rumah sudah larut malam. Anak-anaknya berangkat sekolah belum tentu dengan perut kenyang, di sekolah tanpa uang jajan dan pulang sekolah makanan sudah terhidang.

Seusia kami, sebagian besar teman-teman khususnya orang Batak yang bahkan sejak SD apalagi sudah SMA, semua dipaksa harus mandiri. Kalau mau pergi dengan sarapan ya harus mau masak sendiri, cuci baju sendiri bahkan harus mau bantu orang tua ke ladang sepulang sekolah.

Didikan keras itu bukan hanya untuk menempa anak-anak mandiri tapi juga keterpaksaan karena kebutuhan yang mengharuskan orang tua terkesan abai pada anak-anaknya.

Sekarang mereka beserta orang tuanya menuai apa yang telah ditanam bertahun-tahun itu. Keberhasilan di tanah rantau membuat bukan hanya keluarganya yang berbangga, tapi juga tetangga dan seluruh desa dan tentu saja saya sebagai salah satu teman baik mereka.

Selain kebersamaan, apa yang membuat kami bertahan jalan kaki berkilo meter jauhnya setiap hari, salah satunya adalah suasana desa yang sejuk serta indah. Pohon-pohon besar menaungi perjalanan karena tumbuh subur pada setiap sisi jalanan. Bebas polusi kendaraan, rumah-rumah tua berjarak yang penuh taman bunga di pekarangan serta pemandangan hijau perkebunan teh sepanjang mata memandang bak permadani alam, setiap beberapa hari sekali melihat pemandangangan buruh pemetik teh dengan karung dipunggungnya. Pohon pinus yang tumbuh di sekelilingnya berdesir oleh tiupan angin serta aroma khas yang menguar dari ratusan jendela pabrik pengolahan teh.

Sumber: hetanews.com

Saya sempat bersekolah TK di yayasan milik perkebunan yang gedung sekolahnya berada di kawasan komplek perumahan pejabat tinggi perkebunan. Wah, suasananya seperti di vila puncak. Halamannya luas, selain area untuk permainan anak seperti ayunan, jungkat-jungkit , dll, di depannya adalah hutan pinus mini dengan lantai rumput yang hijau dan terawat. Kebayang, ya nyamannya sekolah di sana.

Begitu juga perumahan pejabatnya, berada pada sebuah komplek khusus yang luas, di antara hutan pinus dengan tanah berumput hijau. Rumah-rumah tua besar bergaya Belanda yang berjarak di antara hutan pinus serta fasilitas jalanan aspal yang mulus. Semua itu previlage untuk keluarga pejabat perkebunan.

Related Post: 4 Tempat Wisata di Sidamanik yang Bisa Dikunjungi Dalam Sehari 

Sungguh, kondisi Perkebunan Teh Sidamanik yang teman-teman lihat di medsos saat ini (yang begitu dikagumi pengunjung) itu sangat-sangat jauuuuuh berbeda dengan kondisi masa-masa indah kami dulu. Jauuuuh lebih indah dahuluuu….jauuuuh. Sayangnya, saya ngga menemukan foto-foto keindahan pada masa itu. (sumpah, kalau diingat saya jadi sedih)

Suasana indah itu masih ada ketika saya sudah diakhir masa SMA tahun 2003. Ketika harus merantau karena kuliah, tentunya sudah jarang pulang kampung. Tapi setiap pulang, sedikit demi sedikit ada saja keindahan yang berkurang. Mulai dari pohon teh dekat rumah yang sudah ngga terawat, melebar sampai ke perbatasan kampung sebelah. Yang dulunya setiap detik menggigil karena kedinginan, bahkan setiap mau mandi harus merebus air dulu supaya bisa mandi pakai air hangat. Sekarang sesekali malah pernah merasakan gerah. Hawa ngga seadem dulu.

Lalu perumahan pejabat yang mulai dikosongkan satu per satu, kemudian pabrik yang perlahan berhenti beroperasi membuat komplek yang dulunya asri dan cantik berubah menjadi seperti rumah-rumah hantu. Dipenuhi semak belukar dan lebih mirip seperti desa mati.

Tak berapa lama, terdengar kabar pohon-pohon teh itu akan digantikan dengan pohon sawit. Beramai-ramai warga menolak dengan demo turun ke jalan, pun begitu dengan perantau-perantau di medsos membuat petisi penolakan.

Sekejap, angin segar kembali berpihak, sawit tak kunjung ditanam, tapi, pepohonan teh yang menjorok ke perkampungan semakin dibiarkan menua dan mengering. Sebagian besar sudah dipenuhi semak. Pohon teh dibiarkan tetap indah hanya di sepanjang jalan lintas saja. Pabrik juga bangunannya semakin terbengkalai, mati suri dan perumahan masih lanjut menjadi desa mati. Wargapun perlahan lupa.

Ternyata itu hanya “istirahat”

Agustus 2025, di medsos melihat video beberapa LSM dan petua-petua desa kembali turun ke jalan melakukan demo penolakan kebun teh menjadi kebun sawit. Sayangnya, kesaksian beberapa warga ternyata di area bagian dalam, sawit sudah tumbuh subur. Beberapa perangkat desa, yang katanya pernah ikut menolak, entah karena terpaksa, entah karena intimiadasi atau bisa saja ternyata sudah punya saham, akhirnya ikut menandatangani persetujuan wilayahnya diubah menjadi perkebunan sawit 🙁

November 2025, hujan yang terus menerus melanda sebagian besar wilayah Sumatera Utara tak terkecuali kampung kelahiran saya, Kecamatan Sidamanik. Seumur hidup saya, baru kali itu mendengar kampung saya kebanjiran, yang mana airnya berasal dari wilayah yang telah berubah menjadi kebun sawit.

Bayangkan, dataran setinggi 800–1.100 mdpl bisa kebanjiran… 🙂

KebunTeh Sidamanik (Google Maps @windaa purba)

Bencana Akhir Tahun

Tak cukup dengan berita banjir di kampung sendiri, selang beberapa minggu kemudian hujan kembali turun berhari-hari tanpa jeda tanpa henti. Akibatnya, yang sudah kita saksikan sendiri di berbagai media. Yang menurut kepala BNPB mencekam di medsos doang, yang kata Presiden bisa diatasi dan dikendalikan nyatanya sudah menelan banyak korban nyawa dan satu harta yang paling berharga, alam!

Tak perlu lah dijabarkan disini apa saja musibahnya, bagaimana porak porandanya, bagaimana mencekamnya, bagaimana putus asanya, bagaimana efeknya. Semua sudah bisa disaksikan dari media sosial dan kita semua bisa menilai.

Saya sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan betapa sedih dan pedihnya perasaan korban. Kehabisan cara untuk meluapkan kecewa dan marahnya pada penyebab ini semua.

Bukan…Bukan marah pada Tuhan, sebab saya sadar Tuhan bukan penyebabnya dan Ia tidak sekejam ini.

Setiap membuka medsos, dengan ketiadaberdayaan hanya bisa berdoa dan berharap keadaan cepat membaik dengan berdatangannya bala bantuan. Tapi lagi-lagi dibuat kesal dengan pernyataan pejabat yang alih-alih membantu atau menghibur, malah sebaliknya lisan dan perbuatannya justru lebih banyak melukai hati.

Bantuan banyak berdatangan malah dari warga yang mandiri dan berdikari, tanpa stiker, tanpa nama tanpa dokumentasi. Pejabat yang datangnya terlambat dan begitu ujug-ujug membawa bantuan serta spanduk foto diri dan berbagai media yang saya menilainya bukan seperti mau membantu, malah lebih mirip kampanye. Sungguh, sudah mati hati nurani.

Tiga provinsi yang tedampak belum cukup untuk mengetuk hati. Status bencana nasional-pun tak kunjung diberi. Andai semudah menetapkan pahlawan nasional. Ah, untuk menuliskannya saja saya enggan sekali. Rasa-rasa seperti ngga sudi blog saya berisi gambaran tentang mereka-mereka ini.

Seluruh dunia tahu, apa penyebab bencanan ini terjadi. Potongan kayu yang hanyut sudah bisa jadi jawaban. Daun-daun sawit yang 2/3 batangnya sudah terendam air juga bisa menjawab. Kanal dan sungai yang selalu saja penuh meluap meski hujan sebentar pun bisa jadi jawaban. Kita semua cukup pintar untuk menyimpukan ini semua. Yang menganggap kita bodoh cuma pejaba, kok.

Akhir dari ini semua, kalau kita belum mampu juga untuk berbenah yaaa muungkin 5 tahun lagi akan ada kejadian serupa. Atau mungkin akan terjadi bahkan setiap tahun, lama-lama kita terbiasa dan menormalisasi bencana akhir tahun. Duh, jangan sampeee ya Allah…

Tidak ada kata terlambat untuk belajar dan berbenah, seperti apa yang dituliskan Mbak Dian Restu Agustina itu benar adanya. Kalau bukan dari kita dan bukan dimulai dari sekarang mau siapa dan kapan, kan?

Melihat banyaknya kampung yang tenggelam karena lumpur, saya jadi membayangkan apa jangan-jangan tanah yang sekarang saya pijak ini dulunya juga sebuah desa? Bukan ngga mungkin kan, kalau bertahun kemudian justru tanah ini bernasib sama 🙁

Saya yang di kota saja punya kekhawatiran, bagaimana pula mereka yang tinggal di lokasi yang berdampak dan berdekatan dengan bencana? Pasti sehari-hari dilanda kecemasan dan ketakutan. Hasrat hati pasti mau pindah ke tempat yang layak, tapi apa mau dikata, harta satu-satunya pun sudah habis tak bersisa. Atau malah dia sudah sebatang kara.

Jangankan memikirkan masa depan, yang ada, mereka saat ini mengusahakan bagaimana tidak kelaparan, pakai pakaian kering dan tinggal di tempat yang layak pula. Serta punya tenaga untuk mencari sanak saudara yang hilang entah kemana tiada kabarnya.

Yook bisa yoook, mulai sekarang jadi peduli. Tanam apa yang bisa ditanam (selain sawit). Ngga punya tanah? paling tidak jaga yang sudah jadi tanaman, jangan ditebang, jangan dirusak (selain sawit). Pokoknya sama-sama jaga diri dan keluarga dengan turut serta menjaga lingkungan. Ingatkan orang-orang terdekat untuk buang sampah pada tempatnya. Bukan di sungai bukan di parit. Dan doakan pengusaha sawit dan tambang nakal itu cepat menghadap pencipta. Aamiin…

Related Post: Jagalah Bumi, Maka Bumi Akan Menjagamu

Sebagai pecinta aktivitas outdoor yang suka blusukan di hutan, saya cuma bisa nyaranin, sesekali kalian mainlah ke hutan, ya, ke sungai pokoknya ke alam-alam. Jangan terburu-buru, tapi nikmati perjalanannya, hembusan anginnya, suara satwanya pasti kalian akan jatuh cinta pada alam. Tak kenal maka tak sayang, kan… 🙂

Tahun depan dan tahun-tahun seterusnya, ngga ada lagi bencana yang disebabkan karena ulah manusia. Kita akan melihat sungai-sungai mengalir jernih, burung-burung terbang dengan bebasnya, satwa hutan beranak pinak, udara bersih dan sejuk, pohon-pohon tumbuh subur dan kokoh, bencana akhir tahun pun tiada. Ya Allah, Aamiin…

“Lancang Kuning, lancang kuning Berlayar malam. Kalau nahkoda tidaklah paham, alamat kapal akan tenggelam”

Tapi ini bukan tentang nahkoda dan bukan tentang kapal….

A simply mom.. About live, life, love and laugh...
Pos dibuat 408

Tinggalkan Balasan

Pos Terkait

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.

kembali ke Atas
error: Content is protected !!