Serba Serbi

Bukber

Bukber atau buka bersama sudah jadi tradisi dibulan ramadan. Biasanya yang banyak melakukan ini adalah perkantoran atau instansi-instansi yang punya karyawan. Terlebih bila mayoritas karyawannya adalah muslim. Tak jarang juga dilakukan oleh mereka yang bukan karyawan. Bebas, sih…

Beberapa waktu lalu saya liat foto di Instagram tentunya saat IG dkk masih dalam kondisi normal ya, hehe. Jadi difoto itu ada seorang bapak penjual kayak semacam guci atau celengan gitu di depan restoran cepat saji. Si bapak yang kondisinya kurus itu tertidur berbantalkan lengan beralasakan lantai kotor tepat di emperan toko di depan dagangannya. Sementara di dalam restoran banyak orang makan dengan santainya.

Saya jadi sandingkan dengan kondisi bulan ramadan dimana banyak sekali tradisi buka bersama yang dilakukan dengan hura-hura. Makanan berlimpah bahkan terkadang masih bersisa. Pulang dengan perut kenyang. Semoga saat berbuka tak lupa solat magrib dan pulang ngga dalam kondisi kekenyangan sehingga berat untuk isya, tarawih dan tadarus.

Saya pernah liat sebuah instansi pemerintah yang ngadain buka bersama di sebuah hotel berbintang 5 dengan makanan mewah dan situasi yang sangat nyaman. Keluarga (anak istri/suami) pegawaipun diikutsertakan. Tapi ada yang kurang, mereka tak menyertakan anak yatim atau fakir untuk ikut bersama menikmati hidangan mewah itu bahkan tak ada minimal seorang ustad yang dihadirkan untuk sekedar mengisi kuliah tujuh menit. Saya sempat mendengar seorang yang menyayangkan dan menerka-nerka apakah mereka sadar bahwa uang rakyatlah yang mereka nikmati. Dalam hati saya ikut mengiyakan. Acara itu lebih pantas disebut makan malam bersama daripada buka puasa bersama.

Setelah itu ada rasa menyesal dan pedih saat acara bukber yang saya ikuti di salah satu hotel berbintang minggu lalu. Meskipun ada kultum, tapi tetap saja makanan banyak tersisa. Kebanyakan dari kita lapar mata dengan mencoba mencicipi semua jenis makanan tapi selalu menyisakan bekas gigitan.

Melihat foto dan mengingat kondisi di atas, saya jadi menolak ajakan buka bersama dengan kawan sekantor dulu untuk kedua kalinya. Silahturahmi bisa dilakukan setelah bulan ramadan, pikir saya.

Saya bukan menentang atau nyinyir dengan acara bukber. Tapi semakin kesini saya semakin mikir lagi untuk sekedar menghilangkan lapar dan haus di hotel berbintang atau restoran mahal tanpa ada sedikitpun rasa empati untuk kaum yang bahkan mereka bingung mau makan apa untuk sahur dan berbuka.

Dulu waktu kecil bapak kasi penjelasan singkat mengenai makna puasa. Kata bapak supaya kita bisa merasakan lapar dan haus yang dirasakan sama orang miskin. Makanya ada zakat yang harus kita bayar untuk kemudian disedekahkan ke mereka nantinya. Begitu kira-kira…

Jadi saat kita telah menyelesaikan kewajiban menahan lapar dan haus seharian penuh kemudian berbuka dengan berlebih-lebihan apakah niat puasa kita sebenarnya? Kalau kita bener-bener beribadah dan memahami makna puasa, pastinya ada rasa pedih melahap hidangan berbuka ketika membayangkan anak-anak kecil yang berbuka hanya dengan air putih dan hidangan yang dibagi-bagi oleh dermawan di pinggir jalan atau membayangkan para ayah dan ibu masih berkutat dengan barang hasil memulung saat azan magrib telah berkumandang tanda harus segera membatalkan puasa. Ataukah kita berpuasa hanya sekedar melakukan kewajiban sebagai umat muslim kah?

8 tanggapan untuk “Bukber

Tinggalkan Balasan